Diharapkan Menangkal Wabah Penyakit Termasuk Covid-19, Mengapa Harus Ada Barongsai di Malam Imlek

- 1 Februari 2022, 17:29 WIB
Diharapkan Menangkal Wabah Penyakit Termasuk Covid-19, Mengapa Harus Ada Barongsai di Malam Imlek
Diharapkan Menangkal Wabah Penyakit Termasuk Covid-19, Mengapa Harus Ada Barongsai di Malam Imlek /Arif Rohidin/

KUNINGANTALK- Kelenteng Talang Cirebon tiap malam Imlek selalu menampilkan Barongsai. Klub Barongsai Naga Mas dan Kelabang adalah klub tertua di Cirebon.
Klub Barongsai Naga Mas dipimpin Kwee Liang Gie (Subagyo) dan Klub Kelabang dipimpin Oleh Sandy Bernard anaknya Bernard.
“Sejak lama bahkan pada tahun 1960 an dan 1970 an di Kelenteng Talang selalu ditampilkan barongsai, liong dan wushu, kung fu. Beberapa tokohnya Kwee Liang Gie, Oey Kim Hok, Wong Liong Tien, Bernard dan Teddy Kong Giok,” ungkap Bidayawan Tionghoa Cirebon, Jeremy Huang Wijaya, Selasa (1/2/2022).
Jeremy menambahkan mereka tokoh-tokoh ternama jago memainkan barongsai dan Naga Liong.      Oey Kim Hok jago main rantai dan toya. Wong Liong Tien ahli main toya.

Baca Juga: Berbagi Angpao dan Makan Bersama Berbaju Merah, Menyatukan dan Menghangatkan Persaudaraan di Hari Imlek
Barongsai di malam Imlek memiliki harapan untuk mendatangkan rejeki, mengusir bencana dan mengusir menghilangkan wabah penyakit. Itulah harapan adanya barongsai di malam Imlek.
Tarian tradisional Tiongkok dengan menggunakan sarung yang menyerupai singa. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun.
Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ketiga sebelum masehi.
“Kesenian barongsai mulai populer pada zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi,” kata Jeremy.

Baca Juga: Berdarah Belasteran Tionghoa, Ini Lima Artis Indonesia Yang Cantiknya Natural Tapi Memukau
Seorang panglima perang bernama Zhong Que, lanjut Jeremy membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda hingga sekarang.
Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat, dan Singa Selatan yang bersisik dan bertanduk.
Penampilan singa Utara lebih mirip singa karena berbulu tebal, bukan bersisik.Tarian naga berasal dari zaman Dinasti Han dan dipercaya sebagai metode penyembuhan dan pencegahan penyakit.
Di Indonesia, Singa Utara biasa disebut Peking Sai. Singa Utara memiliki bulu yang lebat dan panjang berwarna kuning dan merah.
Biasanya Singa Utara dimainkan dengan 2 Singa dewasa dengan pita warna merah di kepalanya yang menggambarkan Singa Jantan dan Pita Hijau (kadang bulu hijau di kepalanya) untuk menggambarkan Singa Betina.

Baca Juga: Melawan Tim Juku Eja, Persib Andalkan Febri Hariyadi yang Pernah Menjebol Dua Gol ke Gawang PSM Makassar
Pekingsai dimainkan dengan akrobatik dan atraktif, seperti berjalan di tali, berjalan di atas bola, menggendong, berputar, dan gerakan-gerakan akrobatis lainnya.
Tidak jarang juga, Pekingsai dimainkan dengan anak singa, atau seorang 'pendekar' yang memegang benda berbentuk bola yang memimpin para Singa.
Biasanya, sang pendekar melakukan beberapa gerakan-gerakan beladiri wushu.
Konon, pada zaman dahulu, atraksi Pekingsai digunakan untuk menghibur keluarga kerajaan di istana Tiongkok.

Wakil Walikota, Ety Herawati dan Budayawan Tionghoa, Jeremy Huang.
Wakil Walikota, Ety Herawati dan Budayawan Tionghoa, Jeremy Huang.


Singa Selatan Lebih Atraktif
Singa Selatan inilah yang sering kita lihat, atau kita sebut barongsai. Singa Selatan lebih ekspresif dibanding Singa Utara.
Kerangka kepala Singa Selatan dibuat dari bambu, lalu ditempeli kertas, lalu dilukis, dan ditempeli bulu dan dihias.
Bulu yang memiliki kualitas tinggi untuk pembuatan Barongsai adalah bulu domba atau bulu kelinci. Tetapi, untuk harga yang murah, biasanya digunakan bulu sintetis. Pada zaman modern, kerangka barongsai mulai dibuat dengan aluminium atau rotan.
Singa Selatan memiliki berbagai macam jenis. Singa yang memiliki tanduk lancip, mulut seperti bebek, dahi yang tinggi, dan ekor yang lebih panjang disebut Fut San (juga disebut Fo Shan, atau Fat San).
Sedangkan Singa yang memiliki mulut moncong ke depan, tanduk yang tidak lancip, dan ekor yang lebih kecil disebut Hok San. Keduanya diambil dari nama tempat di Tiongkok.
Barongsai Futsan dimainkan dengan kuda-kuda dan gerakan yang lebih memerlukan tenaga. Barongsai Futsan biasanya dimainkan di dalam kategori Barongsai Tradisional.
Kuda-kuda dan gerakan barongsai hoksan lebih santai daripada Barongsai futsan. Barongsai futsan biasanya digunakan di sekolah-sekolah kungfu, dan hanya murid terbaik yang dapat menarikannya.

Baca Juga: Biodata Randa Septian, Pemain Sinetron Berwajah Tampan yang Ditangkap karena Narkoba    
Barongsai hoksan biasanya dikenal karena ekspresif, langkah kaki yang unik, penampilan yang impresif, dan musik yang bertenaga.
Diperkirakan, pendiri Barongsai Hoksan adalah Feng Gengzhang pada abad ke 20. Feng lahir di desa, di kota He Shan, dan dia diajarkan beladiri Tiongkok dan Barongsai dari ayahnya.
Kemudian, ia mempelajari bela diri dan barongsai dari Fo Shan sebelum pulang ke desanya dan membuat sasananya sendiri.
Dia menciptakan gaya berbarongsainya yang unik, dan menciptakan teknik baru memaikan barongsai dengan mempelajari mimik dan gerak kucing, seperti "menangkap tikus, bermain, menangkap burung, dan berguling".
Dan, terciptalah kepala barongsai bergaya Hok San, ia merendahkan dahi Barongsai, melengkungi tanduknya, dan membuat mulutnya menjadi seperti paruh bebek.
Badannya juga menjadi terlihat lebih bertenaga dan berwarna lebih mencolok, bersama dengan langkah kaki yang lebih unik dan tangkas, Feng menciptakan gaya musik baru dalam bermain Barongsai yang disebut "Seven Star Drum".

Baca Juga: Lagi, Pemain Sinetron Berwajah Tampan Ditangkap Polisi karena Tersandung Narkoba
Sekitar tahun 1945, pemain Barongsai hoksan diundang untuk tampil di berbagai tempat di Tiongkok dan bagian Asia Tenggara.
Di Singapura, Barongsai hoksan menjadi terkenal dan mendapatkan julukan "Raja dari Raja Barongsai" dan memiliki tulisan "Raja" di dahi Barongsai Hoksan.
Perbaikan lebih lanjut, asosiasi Barongsai hoksan di Singapura membuat Barongsai hoksan menjadi lebih mirip seperti seekor kucing dengan memendekkan ekornya, dan membuat ketukan drum yang baru untuk tarian singa ini.
Biasanya, perbedaan warna pada bulu Barongsai melambangkan umur dan karakter sang Barongsai. Barongsai dengan warna putih adalah barongsai yang paling tua.
Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah "Lay See".
Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air "Chai Chin", yang melambangkan hadiah bagi sang Singa.
Proses memakan "Lay See" ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.
Tarian dapat diperpanjang atau mungkin keluar dari kebiasan bermain. Tarian Singa juga diiringi dengan musik besar berupa drum, gong, dan gembrengan.
Pada dasarnya, acara seremoni sering ditambahi petasan.  Tujuan utamanya mengusir penyakit dan mendatangkan rejeki.***

Editor: Arif Rohidin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah