Mengenal Sejarah Cirebon di Bulan Ramadhan, Kali ini Masjid Agung Sang Cipta Rasa Miliki Pesona Tradisi

- 7 April 2022, 17:18 WIB
Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Masjid Agung Sang Cipta Rasa /Arif Rohidin/

 
KUNINGANTALK- Bagi masyarakat Cirebon atau Jawa Barat tentu nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa sudah bukan nama yang asing.
Keberadaannya sangat erat dengan sejarah dan peradaban Islam di tatar Jawa bahkan Nusantara sejak jaman Wali Songo.
Masjid yang terletak di depan Keraton Kasepuhan ini membuktikan jika Kota Cirebon memiliki sejarah dan peradaban Islam yang tinggi dengan hadirnya salah satu Wali Songo yakni Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Bagi masyarakat Cirebon Masjid Agung Sang Cipta Rasa bukan hanya menjadi kebanggan tetapi pusat syiar Islam hingga sekarang.
Setiap Bulan Ramadhan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa selalu dipenuhi masyarakat dari berbagai wilayah untuk melaksanakan ibadah dan itikaf.

Baca Juga: Ramalan Bintang Hari ini Kamis 7 April 2022, Zodiak Pisces; Waspadalah Beberapa Musuh Rahasia di Tempat Kerja
“Ratusan hingga ribuan orang setiap minggu datang dari berbagai wilayah untuk beribadah atau ingin mengenal Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Jumlahnya meningkat pada Bulan Ramadhan,” ungkap warga sekitar, M. Sodik.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa  dibangun pada abad ke-15 M oleh Sunan Gunung Jati dan para mubaligh Tanah Jawa.
Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsitek.
Di samping itu, Raden Sepat juga ditugaskannya untuk membantu sosok pemilik nama asli Bendara Raden Mas Said tersebut dalam menunaikan amanah.
Masjid ini memiliki sejarah dan keunikan dengan berbagai ornamen yang lekat dengan lokasi ibadah yang masih menggunakan arsitek Jawa dengan sebagian besar terbuat dari kayu.
Kemegahan serta sejarah panjang mengiringi termasuk beberapa tradisi dilakukan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini.

Baca Juga: Hadir di Polda Metro Jaya, Marshel Widianto Tegaskan Bahwa Dirinya Baik-Baik Saja
Tidak mengherankan bila masyarakat setempat terus merawat tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Misalnya, budaya azan pitu, muludan dan berbagai tradisi lain.
Tradisi Adzan Pitu atau adzan tujuh memiliki keunikan bahkan mungkin salah satu tradisi sangat langka karena Adzan dilakukan tujuh orang muazin.
Seperti tampak dari namanya, tradisi itu harfiahnya berarti ‘mengumandangkan azan.’ Namun, yang dimaksud ialah bukan azan seperti biasa. Pasalnya, ada tujuh orang muazin sekaligus yang mengumandangkan panggilan shalat itu. Ada kisah yang melatari lahirnya kebiasaan kultural tersebut.
Konon, dahulu kala ada seorang pendekar sakti yang bernama Aji Menjangan Wulung. Pengamal ilmu hitam ini kerap kali mengganggu kaum Muslimin.
Sebab, dirinya membenci agama Islam kemudian kebenciannya itu kian besar sehingga ingin menghancurkannya.
Akhirnya, Aji Menjangan menjadikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa sebagai sasaran.
Aji Menjangan yang memiliki kesaktian memanjat dinding dan bertengger di atas tempat ibadah ini. Setiap muazin yang hendak menyuarakan azan diserangnya.
Kaum Muslimin pun resah. Begitu mengetahui kejadian tersebut, Sunan Gunung Jati langsung mengundang para ulama setempat untuk bermusyawarah.
Setelah memohon petunjuk Allah SWT, mereka pun menyepakati solusi. Sunan Gunung Jati menunjuk tujuh orang untuk menjadi muazin serentak.
Mereka ditugaskannya untuk mengumandangkan azan secara bersama-sama. Suara azan yang dilantunkan serempak itu menyebabkan Aji Menjangan kebingungan.
Pembuat onar ini hilang akal karena tidak tahu arah sumber suara. Akhirnya, sosok pembenci Islam tersebut lari terbirit-birit. Sejak itu, masjid tersebut tidak pernah diganggu lagi.

Baca Juga: Ternyata Mimpi Makan Saat Berpuasa di Bulan Ramadhan Datang dari Setan atau Pertanda Kiriman Sihir
Itu adalah sepenggal kisah dari salah satu tradisi unik di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Dahulu azan dengan cara demikian dilantunkan setiap hendak shalat lima waktu.
Akan tetapi, tradisi tersebut pada saat ini hanya dilakukan pada momen shalat Jumat, yaitu azan pertama.
Nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki makna tersendiri. Itu diambil dari kata sang yang berarti ‘keagungan’, cipta, yakni ‘dibangun’, serta rasa atau ‘digunakan.’
Ringkasnya, nama tersebut bermakna ‘bangunan agung yang dibangun untuk digunakan umat Islam.’
Pemilihan namanya mencerminkan tingginya rasa toleransi yang ditunjukkan Wali Songo.
Mereka tidak memilih nama yang kearab-araban, tetapi justru mengutamakan unsur lokal.

Baca Juga: Ini Ciri dan Syarat Pekerja yang Akan Mendapat BLT Subsidi Gaji Rp 1 Juta, Apakah Kalian Masuk Kategorinya?
Dengan begitu, pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa ajaran Islam dapat mengakar dan tumbuh berkembang di tengah masyarakat setempat.
Berbeda dengan umumnya masjid-masjid klasik di Pulau Jawa, Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki atap yang nonkemuncak.
Bentuk limasan susun tiga itu disebut pula sebagai lambang-teplok. Keindahannya menginspirasi banyak orang, termasuk Thomas Karsten.
Arsitek Hindia Belanda ini mendesain Museum Sonobudoyo dengan mencontoh corak pada bangunan di Cirebon tersebut.
Ada 12 saka guru atau pilar utama yang menyangga atap masjid tersebut. Antara satu dan yang lainnya terhubung dengan balok-balok melintang.
Masing-masing ikatannya menggunakan pasak. Uniknya, salah satu tiangnya terbuat dari serpihan-serpihan kayu yang disusun dan diikat.
Tiang tersebut disebut pula sebagai sokotatal. Ada makna filosofis di balik tiang sokotatal, yakni bahwa persatuan yang kokoh bisa menopang beban seberat apa pun.
Ada yang mengatakan, Sunan Kalijaga-lah kreatornya. Namun, ada pula yang menyebut Sunan Gunung Jati.

Baca Juga: Jadwal Imsakiyah dan Sholat Kota Cirebon dan Sekitarnya Rabu 6 April 2022
Ruang shalat utama memiliki luas 17,8x 13,3 m persegi. Untuk memasukinya, jamaah dapat melalui satu dari sembilan pintu—semuanya melambangkan jumlah Wali Songo.
Di dalamnya, terdapat mihrab dengan ukiran-ukiran bermotif bunga teratai, hasil kreasi Sunan Kalijaga.
Munculnya motif teratai juga menunjukkan adaptasi seni arsitektur Hindu. Masih di bagian mihrab, ada tiga buah ubin dengan tanda khusus pada masing-masingnya yang mengisyaratkan pokok-pokok agama, yaitu iman, Islam, dan ihsan.
Jamaah yang hendak mencapai ruang utama, harus melalui pintu kecil dan pendek. Alhasil, mereka mesti membungkukkan badan.
Ini mengandung makna simbolis bahwa seorang Muslim harus merendahkan diri ketika beribadah. Jangan sampai hati diliputi sifat sombong atau riya.***

Editor: Arif Rohidin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah