Terkait Pelarangan Bahasa Sunda, Sikap Arteria Dahlan Tak Sejalan dengan Bung Karno

- 18 Januari 2022, 18:29 WIB
Presiden Sukarno
Presiden Sukarno /Arif Rohidin/

KUNINGANTALK- Pernyataan mengejutkan publik Anggota DPR RI, Arteria Dahlan yang melarang salah satu Kejati menggunakan Bahasa Sunda tentu banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Bahkan, dalam catatan sejarah Presiden Sukarno sering menggunakan Bahasa Sunda dalam berbagai pidato kebangsaannya.
Bung Karno yang juga pernah mengenyam Pendidikan di Bandung tentu sangat fasih menggunakan Bahasa Sunda.

Baca Juga: Arteria Dahlan Diminta Minta Maaf, Dianggap Menunjukan Ego Sektoral dan Rusak Marwah DPR
Sikap Arteria Dahlan tentu dianggap tak sejalan dengan prilaku Bung Karno yang menjadi ayah Megawati Sukarno Putri.
Bung Karno umpamanya terkadang menyelipkan istilah, idiom, atau kata-kata dalam bahasa Sunda pada pidato atau amanatnya.
Kemampuan Bung Karno berbahasa Sunda misalnya ditunjukkan saat ia berpidato dalam rapat raksasa di Alun-Alun Bandung pada 20 Mei 1963.

Baca Juga: Kader PDIP Jabar Minta Ibu Megawati Pecat Arteria Dahlan
Dalam pidato bertajuk Sosialisme Bukan Benda Jang Djatuh Dari Langit itu, Sukarno banyak memakai bahasa Sunda. Tengok saja saat ia membuka pidatonya sebelum mengucapkan salam kepada masyarakat.
"Sebagai biasa saja itu minta sembojan-sembojan, spandoek-spandoek digulung. Sudah saja batja semua. Gulung, gulung, gulung atau diturunkan. Eta, digulung, gulung, gulung, eta gulung terus, eta anu Bereum, gulung terus..........Tah kitu, eta anu bodas oge digulung. Henteu bisa digulung, dimiringkeun. Eta anu bodas oge dimiringkeun........Tah kitu, benar, benar, benar."

Baca Juga: Jadwal dan Harga Tiket Kereta Api dari Stasiun Gubeng Surabaya ke Jakarta, Rabu Tanggal 19 Januari 2022
Kalimat-kalimat pembuka tersebut bertaburan istilah dan kata-kata Sunda macam eta, henteu, bereum, bodas, tah kitu yang menunjukkan perintah kepada massa rapat raksasa itu guna menggulung atau memiringkan spanduk, semboyan berwarna merah atau putih sebelum Bung Karno memulai pidato.
Bagian lain pidato itu juga dipenuhi kata dan kalimat-kalimat bahasa Sunda seperti ucapan terima kasihnya kepada massa yang telah menyaksikan upacara sidang paripurna MPRS yang menetapkannya sebagai presiden seumur hidup.
"Nuhun, nuhun, nuhun, dulur-dulur nuhun, nuhun (Terimakasih, saudara-saudara)."

Baca Juga: Jadwal dan Harga Tiket Kereta Api Argo Parahyangan dari Jakarta ke Bandung, Rabu 19 Januari 2022
Bung Karno paham betul massa rapat raksasa yang dihadapinya merupakan warga Bandung yang kesehariannya berbahasa Sunda.
Sebagai orator ulung, ia menyampaikan pesan-pesannya tentu dengan banyak menyelipkan bahasa ibu dari massa yang dihadapinya.
Apalagi, ia memang pernah hidup di Bandung sehingga mengenal betul daerah dan masyarakatnya. Untuk urusan identitas wilayah ini, ia tak lupa menyisipkan dalam pidatonya tersebut.
"Aku Saudara-saudara meskipun sekarang berdiam di Djakarta, dulu aku berdiam di Bandung. Kapungkur teh Bung Karno urang Bandung (Aku Saudara-Saudara meskipun sekarang berdiam di Jakarta, dulu aku berdiam di Bandung. Dulu Bung Karno orang Bandung)," ucapnya.

Baca Juga: Jadwal dan Harga Tiket Kereta Api Argo Parahyangan dari Jakarta ke Bandung, Rabu 19 Januari 2022
Pesannya tentang sosialisme juga menggunakan bahasa Indonesia bercampur Sunda.
"Nah, ini lenjepkeun saudara-saudara, lenjepkeun, lenjepkeun. Ulah ngira sosialisme datang lamun urang ngaduruk mobil. Ulah ngira sosialisme datang lamun urang metjahkeun djendela (Nah, dengarkan dan pahami saudara-saudara, jangan kira sosialisme datang kalau kita membakar mobil dan memecahkan jendela."
Bukan cuma pidato di Bandung, Sukarno kerap juga menyitir istilah Sunda dalam amanat-amanatnya di tempat dan kegiatan lain.

Baca Juga: Jadwal dan Lokasi Samsat Keliling di Kota Cirebon Hari Rabu Tanggal 19 Januari 2022
Contohnya dalam amanat indoktrinasi Presiden Sukarno dalam rapat umum menyongsong menyongsong dasawarsa Konferensi Asia Afrika I dan Gerakan Kebersihan Ibukota di Istora Bung Karno, Senayan, Jakarta pada 22 Februari 1965. Kegiatan itu bertajuk Kebersihan Adalah Kepribadian Nasional Indonesia.
"Ajo ini, mahasiswa-mahasiswa, ada mahasiswa sastera di sini? Ha, ada? Aja henteu? (Ayo ini, mahasiswa-mahasiswa, ada mahasiswa sastra di sini? Ha, ada? Ada tidak)," tanya Sukarno kepada peserta rapat.

Baca Juga: Jadwal dan Harga Tiket Kereta Api Kaligung Hari Rabu Tanggal 19 Januari 2022
Pertanyaan, "aya henteu" tentunya tak asing bagi mereka yang bisa dan tahu berbahasa Sunda. Di tempat yang sama pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 1964 bertajuk Kapitalisme Dan Imperialisme Adalah Djahat, Bung Besar tak ketinggalan menggunakan istilah Sunda lain, teungteuingeun.
Istilah yang bermakna keterlaluan tersebut dipakai Sukarno untuk menggambarkan perilaku ‎salah satu majalah di Amerika Serikat bernama Wisper yang memajang fotonya berhadapan dengan wanita telanjang.
Padahal kedua foto itu jelas berbeda, namun ditumpangkan bersama di halaman muka guna merusak nama baik Bung Karno.
Dikutif Kuningantalk.com dari Pikiran-Rakyat.com berjudul “Desak Kejati Pakai Bahasa Sunda saat Rapat Dicopot, Arteria Dahlan Dituntut Minta Maaf” (Bambang Arifianto /Pikiran-Rakyat.com)***

Editor: Arif Rohidin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah