PR KUNINGAN — Dentung bunyi angklung mendengung renung bergulung bertemu hati yang dirundung bingung akan senandung menguntung. Tapi lamun masih sebatas mengawang asa hikayat angan membumbung.
Menjelang siang, melongok bangunan tua yang konon bernilai sejarah sarat budaya bangsa namun kurang terawat apik. Di situ, dimana terdapat cerita yang patut diketahui masyarakat bangsa di seluruh Tanah Air.
Haruslah kiranya membuka cakrawala pikir anak bangsa merawatnya. Angklung sebagai identitas budaya bangsa terpajang di setiap kantor perwakilan Indonesia di luar negeri. Bahkan, telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia asli dari Indonesia pada 16 November 2010 lalu.
Mengulas memoar angklung, ternyata jejak sejarah perkembangannya sebelum mendunia terkuak kala menyambangi bangunan rumah tua yang terletak di Dusun Manis, RT. 3/RW. 1, Dusun Manis, Kelurahan Citangtu, Kecamatan/Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Adalah rumah dari H. Muhammad Sattari yang populer dikenal dengan nama ‘Abah Kucit’ seorang budayawan pengrajin angklung buncis—di sana terdapat sejarah perubahan nada angklung.
Bahwa angklung buncis ada pula yang menyebutnya sebagai angklung buhun atau angklung tua, semula bermacam laras, ada yang menggunakan tiga nada (tritonik), empat nada (tetratonik), dan lima nada (pentatonik), berubah menjadi bernada diatonis atau do-re-mi.
Perubahan nada angkung dari tritonik menjadi diatonik itu menurut keterangan sejumlah sumber menerangkan terjadi di rumah tua milik Abah Kucit tersebut.
Muhammad Sattari
Berkunjung ke rumah Abah Kucit, Senin 27 November 2023, dijumpai perempuan paruh baya bernama Yeni Saftini (67 tahun), ialah orang yang merawat H. Muhammad Sattari dikala memasuki usia senja.